info@salaki-salaki.com

Indonesian Tax News

BUKA-BUKAAN SOAL PAJAK

Dari era kejayaan Romawi sampai era dominasi digital, urusan pajak tetap jadi topik panas yang bisa membuat banyak pihak belingsatan. Apalagi, setelah pemerintah berencana untuk menilik gaya belanja masyarakat lewat transaksi kartu kredit mereka. Banyak reaksi pro dan kontra bermunculan. Berita ini bahkan membuat banyak nasabah menutup kartu kreditnya karena ketakutan. Perlukah Anda ikut-ikutan gelisah? Apa pendapat para pakar dan pemerintah tentang rencana terobosan ini?

Krisis Kepercayaan

Di era Kekaisaran Romawi, pajak dipungut secara paksa untuk membiayai angkatan perang Roma yang terkenal kuat. Di era kini, pajak dikembalikan pemerintah kepada rakyat dalam bentuk fasilitas publik, infrastruktur, dan pelayanan kesehatan serta pendidikan murah. Namun, dalam prosesnya, tak semudah cita-cita yang tertuang di atas kertas.

Tak hanya itu, menjaga kepercayaan memang bukan perkara mudah. Ketika masyarakat berbondong-bondong membuat kartu wajib pajak atau NPWP, seketika itu nasionalisme menjadi warga taat pajak terdongkrak. Tetapi, kepercayaan yang mulai terbangun ini kembali terpuruk oleh ulah segelintir orang yang memanfaatkan kedudukannya untuk melakukan korupsi.

Anda tentu masih ingat ‘Gerakan 1.000.000 Rakyat Boikot Bayar Pajak’ yang merebak lewat akun Facebook pada tahun 2010, yang menjadi respons keras rakyat terhadap kasus Gayus Tambunan. Pegawai Dirjen Pajak ini memiliki rekening gemuk senilai Rp 25 miliar yang diduga kuat berasal dari wajib pajak. Kenyataan ini makin membuat orang jadi ragu, ke mana sebenarnya aliran pajak yang telah mereka bayarkan?

Namun, sebelum mengurai lebih lanjut signifikansi pajak yang kita bayarkan, seperti apakah profil pajak kita? “Indonesia memang sedang kekurangan penerimaan pajak. Menurut catatan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), dibanding negara ASEAN lainnya, pendapatan dari pajak perorangan di Indonesia sangat kecil, hanya 8% dari total penerimaan pajak,” ungkap Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti dari INDEF. Pendapatan pajak perorangan ini juga mengalami penurunan drastis, dari 120% pada tahun 2009 menjadi hanya 81,3% pada tahun 2015.

Kepatuhan pajak kita juga masih sangat rendah. Data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan (2015) mengungkap bahwa dari 247 juta penduduk Indonesia, yang menjadi potensi pajak harusnya ada 60 juta orang. “Tapi, hanya 11 juta orang saja yang memiliki kartu NPWP. Sementara, dari 11 juta orang tersebut, yang menyetorkan pajak kurang dari separuhnya,” lanjut Bhima, prihatin. Kenyataan ini yang kemudian mendorong pemerintah untuk mengambil langkah terobosan dengan memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan No.39/PMK.03/2016. Melalui peraturan ini semua transaksi kartu kredit wajib dilaporkan oleh penerbit kartu kredit secara langsung ke Dirjen Pajak (DJP) mulai tanggal 31Mei 2016.

“Tujuan Otoritas Pajak meminta data transaksi kartu kredit adalah untuk membandingkan perilaku belanja wajib pajak dengan besarnya penghasilan yang dilaporkan di SPT ” jelas Dra. Irene M. Salaki, S.H., CPA, ahli perpajakan dan konsultan keuangan dari Salaki & Salaki yang sering menjadi narasumber di berbagai seminar perpajakan.

Kontan rencana ini memicu banyak reaksi dari berbagai lapisan masyarakat. Seperti yang juga dirasakan oleh Maria Patricia (26). “Walau saya tidak menggunakan uang negara untuk transaksi kartu kredit, aturan terbaru Dirjen Pajak ini membuat saya risi,” ucap wanita yang bekerja sebagai staf keuangan ini.

Mengaku lebih banyak memakai kartu kreditnya untuk biaya berobat, Maria merasa bahwa apa pun alasan dari pemerintah, penggunaan kartu kredit menjadi hak pribadi dan bersifat rahasia. “Orang tua saya saja tidak perlu tahu. Jadi, kenapa orang lain di luar lingkup keluarga turut campur soal ini?” ujarnya, kesal.

Maria mengaku bahwa peraturan ini membuatnya lebih hati-hati dalam bertransaksi memakai kartu kredit. “Karena ujung-ujungnya, mereka akan mengakses berapa besar total pendapatan saya. Jujur saja, pengeluaran saya lebih besar dari pendapatan,” ungkapnya.

Nyatanya, sejak peraturan ini diterbitkan pada 22 Maret 2016, banyak nasabah yang menutup kartu kreditnya dan menukarnya dengan kartu debit, termasuk di antaranya nasabah dari bank bank besar. Ada sekitar 2.000 nasabah BCA yang menutup kartu kreditnya, dan sedikitnya 10.000 nasabah Bank Mega melakukan langkah yang sama. Ini belum melihat bank-bank lainnya.

“Alasannya adalah karena nasabah takut nilai belanjanya terdata oleh otoritas pajak. Mereka merasa tidak nyaman nilai pengeluarannya ketahuan alias terukur,” ungkap Irene. Sementara itu, Bhima memiliki pandangan tersendiri, bahwa reaksi spontan nasabah ini dilakukan karena adanya ketidakpercayaan terhadap otoritas pajak.

“Bisa jadi sebenarnya nasabah tidak punya masalah pajak, tapi mereka takut ada oknum pajak yang kemudian mencari celah, sehingga akhirnya mereka dianggap salah. Ini yang membuat banyak orang tidak percaya,” kata Bhima.

Read more : Buka-Bukaan Soal Pajak
Source : Majalah Femina No. 24/XLIV Edisi 11-17 Juni 2016, Hal : 48 – 51

Leave a Reply